Lahirnya konten-konten yang dikreasi sendiri oleh pemilik brand dan muncul lewat kanal-kanal swadaya menunjukkan betapa dunia komunikasi dan pemasaran telah berubah. Landscape itu sangat terasa pada saat platform-platform berbasis swakarya seperti Instagram dan YouTube mengambil alih cara manusia mengenalkan (atau memamerkan) karyanya.

Konten-konten yang dibuat oleh user menandakan sebagai pemilik brand pun bisa membuat konten sendiri. Tanpa bersandar pada agensi besar. Dalam hal distribusi konten, inilah yang membuat pada pemilik media terpukul karena dari segi trafik terjadi persaingan antara akun punya pemilik brand dengan media.

Maka belakangan, media pun harus melakukan penyesuaian. Dengan segala “keahlian” yang mereka punya berdasarkan pengalaman bertahun-tahun mengelola media (distribusi konten) dan memproduksi konten, muncul unit-unit taktis kreator konten yang mendedikasikan upayanya kepada partner alias pihak kedua.

Bahkan konsep layanannya pun tidak lagi terkait dengan media sebagai mothership bisnis mereka. Jika perlu terlepas sama sekali, yang penting arus pendapatan masuk ke pundi-pundi mothership.

Sehingga tidak heran jika layanan yang ditawarkan oleh agen-agen kreator underbow perusahaan media ini sangat kompetitif. Bahkan bisa sangat terjangkau. Karena, mereka tidak lagi dibebani fakor biaya pemuatan media yang tarifnya sudah sangat gila-gilaan.

Bagi pemilik brand, situasi ini dianggap membantu. Terlebih era pun telah berubah dalam hal marketing dan communication, dua hal yang merupakan ujung tombak penjualan dan sebelumnya berbiaya sangat mahal.

Era digital memungkinkan pemilik brand melahirkan dan mengelola konten serta akun-akun mereka. Bisa website sendiri dengan nama sendiri, tentu pula media sosial dan multiplatform.

Yang terjadi adalah pertemuan antara biaya dan platform digital (cost meet digital). Pemilik brand mulai mengevaluasi pengeluaran (dari production cost hingga ongkos pemuatan media), bahkan lalu muncul pula peluang untuk memonetisasi own content mereka menjadi pendapatan baru. Bagi sbeagian mungkin belum terlalu besar namun diharapkan paling tidak produksi konten dapat diperoleh dari ad sense yang mereka sabet.

Namun bagi brand-brand seperti Redbull misalnya, yang subscriber YouTube-nya saja sudah sebanyak 11,3 juta dengan view di setiap kontennya yang menembus jutaan, rasanya justru pemilik brand lah yang meraih ad sense. Lewat konten-konten yang sangat spesifik, Redbull tidak perlu membuang uang ke media konvensional. Bahkan mungkin juga digital, toh dari kanal YouTube-nya saja sudah memicu trafik yang sangat tinggi. Dapat uang lagi.

Apple juga sama. Sebagai top of mind produk teknologi, subscriber YouTube mereka mencapai 16 juta lebih. Salah satu kontennya pernah menembus view sampai 17 juta. Dibanding skala pendapatan bisnis lain, perolehan ad sense Apple pasti jauh sangat kecil.

Namun, unit-unit komunikasi dan pemasaran digital mereka pasti sudah mandiri. Paling tidak untuk mengurusi finansial unit mereka bisa jadi sudah tidak mengandalkan induk perusahaan.

Bila seperti ini yang terjadi, mungkin paradigma tentang budget marketing yang dimasukkan sebagai biaya produksi bisa jadi mulai ditinggalkan.

Faktor lain yang tidak terbayangkan dari pengelolaan konten sendiri adalah potensi mendapatkan data audiens dari jalur digital. Mungkin demografi, psikografi, maupun geografinya.  (*)

FOR MORE DISCUSSION PLEASE EMAIL: ANDRANURYADI1@GMAIL.COM