Perubahan landscape industri media dalam beberapa tahun belakangan terjadi amat luar biasa. Media mengalami ledakan dalam hal kuantitas, karena siapapun dapat membuat dan memiliki media. Namun disrupsi digital membuat media yang jumlahnya banyak itu kemudian berguguran satu-persatu.

Sekalipun demikian, jumlahnya yang masih sangat banyak itu (dibandingkan 15-20 tahun silam) tetap menciptakan perang pendapatan yang berasal dari aspek iklan. Sebagai akibatnya, rate card yang tadinya memiliki standar yang merupakan hasil dari penyetaraan antarmedia, kini berubah total. Calon pembelanja iklan bisa mendapatkan rate yang begitu berfluktuatif, sampai ia kebingungan sendiri. Di sinilah letak agensi advertensi mendampingi kliennya. Belanja iklan adalah seni tersendiri, dan biasanya para officer atau manajer mulai bemain data untuk disajikan kepada kliennya. Selanjutnya data itu mengantarkan pada pemilihan media.

Data-data yang digunakan tidak lepas dari dua klaim data. Data rilisan media sendiri dan data yang dibagikan oleh lembaga riset media. Dan, rumusnya pun hanya pada tingkat keterbacaan (media cetak) dan rating (media elektronik). Media mengikuti apa yang disajikan oleh lembaga periset.

Situasi yang sangat berbeda terjadi pada media digital. Media-media ini juga harus “tunduk” pada algoritma digital yang dibuat oleh Over the Top (OTT). Meski lebih transparan dan sangat cepat, namun media-media digital membutuhkan energi (termasuk dukungan biaya) sangat tinggi untuk bisa berada di ranking terbaik.

Persoalan kemudian muncul, di antara persaingan tersebut, rupanya pendapatan yang media peroleh dari iklan saat ini adalah yang terbesar (di luar elektronik). Media print dan digital, walaupun mendapatkan perolehan pendapatan dari penjualan cetak (yang sudah sangat menurun) dan programatik (yang ternyata tidak besar amat) mau tidak mau harus melakukan strategi pencarian iklan (advertising driven) yang lebih agresif.

Babak baru yang menjadi bagian dari strategi tersebut adalah kini unit-unit bisnis dan komersial media memiliki sub unit-sub unit seperti halnya yang dilakukan oleh agensi iklan.

Mengapa baru kali ini media melakukan strategi ini?

Dulu skema bisnis iklan melibatkan pengiklan, agensi iklan dan media. Skema ini sangat dijaga satu sama lain dan berlaku secara global. Sehingga tidak aneh jika pengiklan yang perusahaan global atau multinasional selalu merekomendasikan pada agensi tertentu yang juga berjaringan global. Pada sisi ini pernah terjadi kolaborasi antara agensi lokal dan internasional, bahkan akuisisi.

Prosedurnya standar. Seluruh perencanaan termasuk produk iklan dan pembuatannya menjadi bagian pekerjaan agensi. Sedangkan media menjadi partner di hilir yang menjangkau audiensnya dalam menyampaikan pesan.

Artinya skema ini membutuhkan perjalanan yang lebih panjang karena harus melewati agensi baru kemudian ke media. Dan, skema ini lebih sering terjadi di sektor privat. Sektor pemerintahan memilih membuka tender sebagai bagian dari Good Corporate Governance, sehingga siapapun boleh ikut serta. Bahkan terjadi interaksi langsung antara media dengan pemerintah.

Media mencoba memangkas dengan unit dan subunit yang sudah menyerupai agensi iklan. Bahkan sejumlah kelompok media besar sampai harus merekrut orang-orang agensi demi memberi perspektif dan ambiens layaknya perusahaan periklanan. Juga pola kerja yang dilakukan benar-benar sudah layak disebut sebagai advertising agency.

Media tidak lagi pasif mencari dan menunggu iklan datang. Tidak lagi pula cuma menawarkan gagasan dengan sekadar produk jurnalistik yang kreatif. Anda, calon pembelanja iklan malah dapat meminta merancang strategi dan goal kepada media saat ini. Media agresif untuk menutup biaya produksi yang tidak murah.

Mereka para punggawa unit bisnis dan komersial ini bekerja end to end. Lengkap beserta bentuk mock up kreatif, juga jaminan dapat tayang pada hari atau jam yang Anda inginkan. Termasuk jika calon pengiklan membutuhkan iklan digital yang sarat dengan penggunaan SEO, media justru jauh lebih kapabel memberikan penawaran dan jaminan.

Layanan media semakin sengit dan menyeluruh. Semangat ini lahir dari daya survive dan tekanan akibat kucuran iklan yang sulit dan dulunya dikendalikan oleh advertising agency. Pendek kata, bila media bisa menguasai dan memendekkan perjalanan proses dari pengiklan, maka ini sama saja dengan memudahkan dan menyenangkan klien-klien mereka. Jangan lupa, dalam proses budgeting-nya pun belakangan diketahui lebih efisien. Malah ada yang tidak mengenakan fee agency.

Bagaimana dari perspektif pengiklan?

Pengiklan membelanjakan sebagian besar anggarannya ke media elektronik dan digital. Belanja iklan di televisi bisa dilakukan langsung tanpa perlu melewati agensi. Itupun kadang diberi banyak bonus oleh stasiun televisi melalui acara-acara unggulannya. Belanja digital dapat dilakukan langsung ke OTT yang sekarang memiliki representatif. Kemudian pengiklan bisa memilih cara maupun target yang diinginkan berdasarkan data science yang dimiliki OTT.

Pengiklan juga mulai sadar bahwa mereka memiliki aset digital yang tak bisa dibiarkan. Dalam pergulatannya menghadapi konsumen, mereka sebenarnya mengeluarkan begitu banyak aset yang seluruhnya dapat didigitalisasi. Aset-aset itu adalah harta karun, dan di masa mendatang akan lebih banyak lagi aset digital yang dihasilkan.

Aset digital lalu diolah dan dikreasikan sebagai sumber otentik dan orisinal. Dalam pengelolaannya menyerupai pekerjaan media. Pun tidak sedikit para ekspert perusahaan yang diberdayakan sebagai nara sumber yang dampaknya menyajikan informasi yang lebih kredibel. Inilah yang lalu disebut dengan pemasaran menggunakan kekreativitasan konten. Beberapa media dengan subunit bisnisnya meramaikan jasa layanan ini.

Lalu apakah dengan cara begini para pengiklan menafikan data riset yang disajikan lembaga independen?

Data tersebut bisa dibeli dan biasanya dapat dikustom sesuai kebutuhan. Data-data ini dapat dianalisa sendiri dan dipergunakan oleh pengiklan yang sudah semakin matang memahami proses bisnisnya. Tidak sedikit yang menganalisa lalu membuat sendiri strategi pemasaran dan penjualan. Data lain mereka gunakan untuk memilih media yang sesuai dengan kebutuhan menjalankan strategi.

Disrupsi agensi advertensi lebih pada disrupsi fungsi yang dapat dilakukan oleh pengiklan dan media. Sejumlah peran diambil alih tentu karena alasan efektivitas dan efisiensi. Jika ternyata lebih efektif dan efisien, mengapa harus ribet? (*)