Persoalan paling sering menyeruak dalam proses menjalankan pemerintahan saat ini baik pemerintah pusat maupun institusi pendukungnya adalah lemahnya komunikasi. Baik pola maupun caranya. Kelemahan public communication yang paling menyeruak di media massa belakangan ini adalah tentang sepak terjang PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan) yang dikomandani oleh Ivan Yustiavandana.

Terlepas dari salah atau tidaknya melakukan analisa keuangan pada Kemenkeu maupun penyampaiannya kepada publik yang dianggap menyalahi aturan, PPATK kini berada di situasi tidak menyenangkan.

Laporan tentang arus keuangan yang dianggap tidak wajar sebesar Rp 349 triliun (setara lebih dari 10% APBN Indonesia 2023) terlanjur diketahui publik. Kendati bukan suara ketua PPATK alias keluar dari mulut Menko Polhukam, publik memaknai telah terjadi penyelewengan atas kuangan negara. Bisa berupa korupsi, bisa pula –yang kemudian dituding sebagai- tindakan pidana pencucian uang. Keduanya sama-sama tindakan kejahatan. Yang korupsi kejahatan luar biasa, yang money loundring termasuk pidana.

Pertemuan dengan DPR membuka tabir betapa buruknya proses dan alur kerja yang terjadi. Di ujung pertemuan ketua PPATK menyebutkan telah terjadi kesalahpahaman di masyarakat tentang temuan tersebut. Kendati ia juga mengaku bersalah karena kurang memberi literasi.

Literasi dan komunikasi dapat dicatat sebagai inti untuk memahami langkah-langkah yang dilakukan PPATK tersebut. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap core business PPATK saja sudah lemah. Artinya masyarakat tidak mendapatkan literasi tentang transaksi keuangan dan seputarnya.

Faktor komunikasi ambil bagian dari kesalahpengertian tersebut. Ini terjadi karena di dalam proses pemerintahan dan menjalankan tugasnya (apalagi terkait dengan kepentingan publik) fungsi komunikasi publik dengan segala bentuk cara maupun strateginya memang tidak berjalan baik.

Literasi dan komunikasi adalah dua hal yang saling berkaitan. Literasi adalah bahan yang selanjutnya dapat dioleh menjadi konten. Komunikasi adalah cara menyampaikan pesan kepada publik, termasuk salah satunya berupa konten bernada literasi.

OWN MEDIA

Mari kita analisa bagaimana pemanfaatan own media yang dimiliki oleh PPATK. Lembaga ini memiliki kanal YouTube, Instagram, Twitter, Facebook, dan website.

Di mana letak literasi segala sesuatu tentang transaksi keuangan dapat diperoleh di media-media digital tersebut?

Nyaris sulit ditemui. Konten yang dibuat dan disebarkan melalui kanal-kanal tersebut umumnya berupa seremonial, ucapan di momen-momen festive, atau kredensial tentang lembaga dan sepak terjangnya.

Pendek kata dari segi konten, lebih banyak didominasi oleh publikasi. Konten edukasi dapat ditemui, namun hampir kebanyakan berbasis tema-tema berkasus. Jarang mengungkap pengetahuan mendasar (basic knowledge) yang dibutuhkan oleh segala jenis lapisan masyarakat.

Website lebih banyak diisi oleh kredensi PPATK itu sendiri, termasuk informasi aktivitas yang dilakukan oleh karyawannya. Beberapa memang akses publik seperti akses pelaporan maupun LPSE.

Pendek kata rumah informasi PPATK tidak menyediakan ruang-ruang yang luas berupa konten yang bersifat literatif.

RESPON AUDIENCE

Lalu bagaimana produksi konten yang di beberapa media sosial tampak produktif bermanfaat bagi masyarakat?

Kita dapat melihat respon audience (engagement). Di Instagram misalnya, dengan jumlah follower sebanyak 28,9 ribu, rata-rata like berkisar 100 atau 0,003 persen. Dari beberapa cermatan, konten berbau informasi pengetahuan (wiki) lebih banyak menarik like, dibandingkan seremonial. Hanya saja jumlah konten seperti di atas sangat minim.

Jumlah subscriber YouTube PPATK telah mencapai 12 ribuan lebih. Frekuensi naiknya konten rata-rata per bulan 4-5 buah. Namun, tampaknya minim konten yang menarik animo audiens. Rata-rata views di angka 200 hingga 250 saja. Bahkan konten storytelling berupa drama pun tidak menarik perhatian.

Begitu pula dengan Twitter. Aset audiens di platform ini adalah terbanyak, menembus 103,3 ribu follower. Impresi rata-rata pada setiap postingan tidak merata. Untuk postingan yang bersifat seremonial dapat mencapai ribuan bahkan puluhan ribu impresi. Sementara yang bersifat informatif sekitar 2000-an impresi. Tetapi tidak dibarengi dengan tingkat engagement yang tinggi di metrik Retweet, Reply maupun Like.

Secara umum, kanal-kanal own media untuk kepentingan komunikasi tersebut tidak optimal. Terkesan sekadar nice to have, asal ada. Strategi konten pun tidak tampak dipergunakan sebagai sebuah cara untuk mengelaborasi jenis-jenis konten.

PUBLIC COMMUNICATION

Inisiatif PPATK menyampaikan temuan aliran keuangan Kemenkeu rupanya tidak disokong dengan rencana komunikasi kepada publik. Terlihat jelas di saat peraturan perundangan tentang pembocoran informasi dipertanyakan DPR, argumentasi lembaga ini seakan tidak relevan dengan pertanyaan.

Seharusnya ketika terjadi ledakan persoalan atas sebuah informasi, proses mitigasi terhadap persoalan sesegera mungkin dilakukan. Sebaliknya, PPATK seperti diserang pukulan dari berbagai sisi. Dan sama sekali tidak terdengar melakukan counter atas “serangan” bertubi-tubi itu.

Malah Menko Polhukam lebih berinisiatif melakukan penjelasan kepada publik, atas kesadarannya sendiri. Walaupun, publik sudah terlanjur mengenyam stigma, bahwa ada indikasi “penyelewengan” keuangan di Kemenkeu. Seperti apa bentuknya?

Publik terus bertanya dengan membawa persepsi ada “korupsi” di benaknya. PPATK di rapat dengar pendapat DPR malah menyayangkan persepsi publik yang kurang mengasup literasi.

Masalahnya, jika menganalisa proses penyampaikan literasi di berbagai platform yang PPATK miliki, memang sulit ditemui komunikasi tentang literasi terkait laporan keuangan Rp 349 triliun itu.

Jadi publik memang berpikir dengan caranya sendiri. Tanpa ada komunikasi literasi dari PPATK.

Sehingga persepsi tentang istilah “transaksi”, “keuangan”, dan “janggal” muncul dengan sendirinya. Yang bila dikerucutkan menancaplah di benak publik, yaitu “kejahatan”.(*)