Salah satu ketakutan sistem pemilu tertutup adalah munculnya orang-orang terkenal, orang-orang populer yang memiliki potensi meraih suara, yang secara kualitas terhadap pemahaman persoalan bangsa minim. Mereka para pesohor (tidak hanya kalangan selebritas) yang didukung oleh pendanaan kuat (baik dana pribadi maupun dana dukungan dan sumbangan) mengalahkan orang-orang yang lebih seharusnya duduk di parlemen.

Orang-orang golongan kedua ini sulit merambat naik menjadi pilihan, karena hanya membawa gagasan. Gagasan yang merupakan buah pikiran tidak nyata. Kalah oleh popularitas yang mudah dikreasi, dibentuk dan dikelola melalui berbagai cara dan platform.

Gagasan tidak cukup disuarakan dalam satu atau dua kalimat. Ia merupakan sebuah rangkaian panjang melalui berbagai proses dan telahaan. Karenanya, sebuah gagasan selalu muncul dari orang-orang yang memahami persoalan dasar, memiliki kemampuan memikirkan persoalan secara holistik dan bahkan mereka biasanya punya keterikatan dengan problematika yang mereka suarakan.

Popularitas di tengah arus media sosial yang mengalahkan peran media massa, semakin memiliki kedigdayaan. Ketika setiap orang dapat menjadi pembuat konten, maka popularitas menjadi referensi masyarakat yang tidak lagi memerlukan check and balancing. Bahkan ketika keterikatan pada popularitas tertentu yang kemudian mengakar dapat dianggap sebagai dogma.

BACA JUGA:

Popularitas tidak selalu bermakna negatif. Ia menjadi faktor pendorong untuk mengubah nobody menjadi somebody. Atau juga dapat menambah atau bahkan mengubah kesan maupun citra orang-orang yang sudah menjadi somebody. Karenanya cara ini banyak digunakan oleh para pemimpin untuk “mengambil” faktor lain yang akan mendukung citra dirinya menjadi satu paket pemimpin tegas nan merakyat, misalnya.

Masalahnya dalam usia proses demokrasi pasca reformasi yang telah cukup disebut dewasa, politik popularitas itu terus saja menguat. Terjadi dan muncul dalam saban pemilihan eksekutif dan legislatif. Para nobody dan somebody sama-sama berpamer wajah di ruang-ruang publik dari konvensional hingga digital.

Ruang-ruang itu terlalu sempit sehingga pesan yang disampaikan seringkali sangat terbatas. Atau lebih kerap lagi, para calon kontestan itu memang tidak memiliki pesan sama sekali. Kalau pun ada biasanya sebatas jargon yang tidak terelaborasi dalam paparan. Atau bahkan memang benar-benar tidak memiliki ide kendati sebatas membuat jargon. Coba Anda ajak otak berpikir, apa ide yang dipunyai oleh seorang penyanyi yang ingin menjadi presiden dengan baliho di mana-mana. Kecuali sekadar membuat publik geger. Dan akhirnya berbuntut serapah.  

Politik popularitas menjadi tidak bermakna ketika diisi oleh orang-orang yang mencarinya dan tanpa membawa apa-apa. Popularitas hanya sekadar alat untuk meraih keterkenalan lantaran dalam prosesnya tidak dijejali dengan bukti perjalanan pembaktian seseorang kepada kemaslahatan.

Pendewasaan masyarakat pada demokrasi hari ini sepatutnya telah sampai pada pandangan tentang gagasan. Orang-orang diajak berbuat lebih mengenali sesuatu yang dihasilkan dari pemikiran dan perasaannya, yang muncul dari proses pemahaman yang sempurna. Di dalamnya ada harapan dan impian. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia diajak menjadi lebih pandai memahami sebuah konsepsi.

Konsepsi tidak harus dimaknai sebagai gagasan yang tinggi dan tidak membumi. Atau yang hanya menjelajahi ruang besar dan tak terjangkau. Bahkan gagasan itu justru implementatif ketika menaungi, menyentuh dan dirasakan segala lapisan masyarakat.

Ya, pengamat mengatakan kita seharusnya telah mengusung politik gagasan sebagai “ruang perang” demokrasi Indonesia menjelang Pemilu 2024.

Gagasan harus diadu, karena setiap gagasan memiliki parameter. Dan, parameter-parameter itulah yang akan mengantar siapa orang-orang yang datang dengan gagasan sebenar-benarnya.

Gagasan yang diadu belum tentu mengalahkan satu sama lain. Namun sudah pasti memiliki kecocokan dan kepantasan di benak dan hati setiap orang. Jadi biarkan orang-orang mendapatkan pencerahan dari gagasan-gagasan guna menemukan indikator yang mengantar pada pilihannya.

Popularitas tak akan mencapai titik ini. Kecuali popularitas itu kemudian dilanjutkan dengan ragam gagasan. Anda boleh pasang baliho segede gajah, tapi tuangkan gagasan cemerlang Anda di ruang lain yang mengakomdir setiap kata dari buah pikiran dan perasaan Anda.

Tanpa itu, Anda memang hanya ingin mencari popularitas. (*)